Jumat, 14 November 2014

Sistem Zakat dan Pajak dalam Ekonomi Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam sebagai sistem kehidupan mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (al-ibadat), dan hubungan manusia dengan makhluk (al-muamalah) dalam seluruh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan negara. Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Ajaran Islam merupakan dasar semua perbaikan sosial, yang tidak hanya terbatas pada secara makro sesuatu perekonomian tidak terlepas dari peran pemerintah, dimana menurut Maududi pemerintah tidak menggunakan kekerasan dalam memimpin suatu Negara, kembali pada subjek masalah zakat dan pajak.
Pajak dan zakat adalah dua kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara. Dengan double duties ini terlihat bahwa di satu sisi masyarakat muslim telah dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan zakat, namun di sisi lain sebagai warga  negara juga memiliki tanggungan wajib pajak. Di satu pihak janji dan ancaman Allah terkait membayar dan melalaikan zakat yang harus dipatuhi, dan di pihak lain sanksi negara telah menanti apabila ia tidak membayar kewajiban pajak. Zakat dan pajak meskipun keduanya merupakan kewajiban dalam bidang harta, namum keduanya merupakan falsafah yang khusus yang keduannya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran,bagian serta kadarnya, disamping itu berbeda pula prinsip, tujuan dan jaminan

B.       Rumusan Masalah
1.    Hubungan zakat dan pajak dalam perspektif Islam?
2.    Perbedaan antara zakat dan pajak?
3.    Zakat dan Pajak sebagai Kebijakan Fiskal dalam Islam?

C.      Tujuan
Untuk mengetahui dan menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara zakat dan pajak dalam Islam, perbedaan-perbedaan antara zakat dan pajak, serta kebijakan zakat dan pajak dalam Islam.

BAB II
LANDASAN TEORI

Kebijakan fiskal dalam pemerintahan islam, telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Baitul Mal sebagai lembaga pengelolaan keuangan Negara. Salah satu kebijakan fiskal yang memiliki pengaruh penting dalam negara sebagai sumber penerimaan untuk kepentingan bangsa ialah pajak. Dalam sejarahnya pajak sudah dikenal sejak ratusan tahun atau lebih dari seribu tahun yang lalu. Dalam pengertiannya secara umum, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Pajak  menurut syariah, secara etimologi kata “pajak berasal dari bahasa arab yang disebut dengan istilah dharibah yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah. Jadi, secara harfiah dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah.
Dalam kebijakan terhadap pendapatan dan penerimaan ekonomi negara untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya bersumber dari pajak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara tersebut, tetapi dalam Ekonomi Islam di sektor penerimaan pemerintah bersumber dari pendapatan rutin seperti zakat. Zakat merupakan rukun Islam ketiga dan pungutan wajib kepada semua umat Muslim. Zakat ini mulai diwajibkan pembayaranya pada tahun ke Sembilan hijriyah. Hampir seluruh pekerjaan pada masa Rasulullah tidak mendapatkan upah, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang. Zakat secara bahasa adalah kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, berkembang dan baik, jadi menurut istilah zakat ialah  jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariah.


BAB III
PEMBAHASAN

A.      Hubungan Zakat dan Pajak Dalam Perspektif Islam
Zakat dan pajak merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan agaama dan sosial. Membahas hubungan antara zakat dan pajak disebabkan dari beberapa hal diantaranya yaitu zakat dan pajak merupakan hal yang signifikan di dalam upaya untuk mensejahterakan rakyat. Zakat dan pajak memiliki kesamaan, memiliki unsur paksaan, keduanya harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (negara), keduanya tidak menyediakan imbalan tertentu, dan keduanya memiliki tujuan kemasyarakatan, ekonomi, politik di samping tujuan keuangan. Zakat dan pajak memiliki perbedaan dalam beberapa hal, yakni dalam hal nama dan etika, hakikat dan tujuan, nishab dan ketentuan, kelestarian dan kelangsungan, pengeluaran, dalam hal hubungan dengan penguasa, dan dalam hal maksud dan tujuannya.
 Mengenai hukum pajak dalam Islam, ada dua pandangan yang dapat muncul, seperti pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya pajak, sedangkan pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak merupakan suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram. Pajak ialah suatu hal yang diperbolehkan, pendapat ini diambil dengan menganggap bahwa pajak ialah sebagai ibadah tambahan setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi menjadi wajib karena sebagai bentuk ketaatan kepada waliyyul amri, yang disebut amri ini dapat disebutkan sebagai pemerintah.
Mengenai hubungan antara zakat dan pajak sebenarnya bukanlah masalah yang baru dalam Islam. Berdasarkan jejak rekam sejarah, setidaknya masalah tersebut telah terjadi semenjak pasukan muslimin yang baru saja berhasil menaklukkan Irak (Ardun Sawad). Kemudian setelah terjadi perdebatan panjang, khalifah Umar Ibn Khattab R.A berijtihad untuk tidak membagikan harta rampasan perang tersebut (menjadikan Ardun Sawad sebagai Fai’), dengan mempertimbangkan generasi mendatang. Akan tetapi, tanah taklukan tersebut dikenakan Kharaj (Pajak) kepada penduduk sekalipun telah memeluk ajaran Islam. Semenjak itulah, tonggak awal diberlakukannya kewajiban pajak disamping zakat (Kharaj dan Ushr) bagi kaum muslimin berlandaskan ketentuan–ketentuan syariat Islam. Dan ketentuan tersebut berlanjut hingga masa dauliyyah (Daulah Umayyah, Abbasiyyah, dan terakhir daulah Utsmaniyyah).
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Menurut Muhammad Abdul Mannan, salah seorang pemikir ekonomi islam di era kontemporer, Beliau memandang zakat sebagai poros utama keuangan publik Islam. Zakat bukan pula pajak, namun justru dipandang sebagai sumber utama pendapatan dan juga "a religious obligation". Muhammad Abdul Mannan menegaskan bahwa Zakat memang tidak memilik efek merugikan dalam motivasi bekerja. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu membangkitkan semangat untuk bekerja.
Akan tetapi seiring dengan kemunduran peradaban Islam disertai hegemoni peradaban barat, hukum Syar’i semakin ditinggalkan dan digantikan dengan Hukum Wad’i (buatan manusia), Implikasinya berbagai penyimpangan tidak terelakkan bahkan penyalahgunaan fungsi dari pajak tidak dapat dihindarkan, fungsi zakat sebagai pemasukan negara dikebiri dan menggantikannya dengan pajak. Lahirnya dokumen Magna Carta di inggris (1215), Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1775–1781) dengan jargonya yang terkenal “No Taxation without representation, Taxation without representation is tyranny, Taxation without representation is robbery” merupakan bukti konkrit dari adanya penyimpangan-penyimpangan dan ketidakpuasan rakyat terhadap ketentuan–ketentuan perpajakan yang berlebihan dan semena–mena oleh para penguasa.
Di masa kini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar bagi negara, mengingat semakin bertambahnya pegawai negara, dan juga bertambahnya kewajiban serta tanggung jawab negara di bidang ekonomi maupun sosial. Di tengah menguatnya peranan pajak sebagai pemasukan negara, secara bersamaan muncul pula kesadaran umat untuk membayar zakat serta peran zakat sebagai sarana untuk menanggulangi permasalahan ekonomi maupun sosial. Dua hal ini memantik beberapa permasalahan penting mengingat adanya perbedaan antara keduanya (pajak dan zakat) yaitu timbulnya dualisme pemungutan (pajak dan Zakat) atas objek yang sama. Dualisme pemungutan ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik penghasilan. Kontraksi dana dengan dualisme sistem ini potensial menimbulkan efek yang kontraproduktif dalam konteks mensejahterakan rakyat.


B.       Perbedaan Zakat dan Pajak
            Meskipun pajak dan zakat pada dasarnya hampir sama dalam tujuannya yakni meningkatkan kesejahteraan sosial melalui dana yang didapat dari masyarakat, sebenarnya terletak beberapa perbedaan yang mencolok yang menjadikan kedudukan pajak dan zakat tidak bisa disamakan. Zakat jika diperhatikan secara mendalam dari perspektif ilmu pajak konvensional, dapat di golongkan sebagai pajak karena ia adalah iuran yang dipaksakan (non voluntary) oleh negara-Islam dan juga digunakan untuk agar terjadi aspek pemerataan kepada masyarakat dimana pajak dipungut. Zakat juga dipungut oleh administrasi baitul maal (lembaga keuangan negara). Perbedaan yang paling utama adalah bahwasanya tujuan zakat adalah untuk langsung ditujukan kepada orang tidak mampu atau yang berhak untuk menerima zakat tersebut, sedangkan pajak digunakan untuk skup yang lebih luas, yaitu pembiayaan pengeluaran negara untuk pembangunan infrastruktur pembangunan juga untuk dialokasikan untuk pemeratan sosial. Berikut ini perbedaan antara zakat dan pajak ini dapat dijelaskan satu-persatu lebih rinci mengenai perbedaan-perbedaan tersebut, diantaranya :
v  Perbedaan yang paling dasar dari keduanya terletak pada sumber perintahnya. Pajak bersumber dari pemerintah yang telah menetapkan pajak tersebut melalui Undang-Undang disertai persetujuan dari parlemen atau DPR, sedangkan zakat bersumber dari perintah Allah SWT yang wajib dijalankan umat Islam untuk menjadi orang yang beriman.
v  Dari segi pelakunya dimana dalam pajak, seluruh masyarakat berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan dalam zakat hanya umat Islam saja yang diwajibkan melakukannya.
v  Perbedaan selanjutnya terletak pada objek penerima dari dua dana ini. Pajak dipungut oleh pemerintah dimaksudkan untuk kepentingan sosial dan untuk kepentingan orang yang membutuhkan. Padahal ini rentan terjadi salah sasaran dimana justru orang yang telah berkecukupan malah mendapat apa yang menjadi hak dari orang yang membutuhkan. Sedangkan dalam zakat, pada surat At-Taubah ayat 60 menjelaskan hanya ada delapan golongan saja yang berhak menerima zakat tersebut.
v  Berikutnya terletak pada segi hukumnya. Untuk pajak, pandangan mengenai hukum dari pajak itu sendiri sampai saat ini masih terbagi menjadi dua pandangan, yakni pandangan pertama yang menganggap pajak itu boleh bahkan wajib mengingat wajibnya mentaati pemimpin dan pandangan kedua yang menganggap haram dengan landasan ayat Al-Qur’an serta hadits, sedangkan zakat yang merupakan salah satu rukun Islam menjadikannya jelas bahwa hukumnya ialah wajib karena merupakan perintah langsung dari Allah SWT.
v  Dalam pajak tidak ada ketentuan yang jelas dalam jumlah nominalnya kecuali ditentukan oleh pemerintah di tempat tertentu, sedangkan dalam zakat, ketentuan kadar dalam pemberian sebagian harta untuk zakat telah ditentukan oleh Allah SWT bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabnya.
v  Maksud dan tujuan. Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadat dan juga pajak sekaligus". Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, Negara memintanya secara paksa kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.

C.      Zakat dan Pajak sebagai Kebijakan Fiskal dalam Islam
Adam Smith dan Yusuf Qordhowi sama-sama memiliki empat asas dalam zakat dan pajak. Ajaran zakat dan pajak harus adil dan memenuhi empat syarat yaitu asas equality dan equity, certainty, convenience of payment, dan economics of collection. Asas “Equality”, yaitu sedapat mungkin setiap subjek pajak hendaknya memikul beban pajak sesuai dengan kemampuannya, yaitu sesuai dengan penghasilannya di bawah perlindungan pemerintah. Asas ini dalam Islam dikenal dengan “Qa’idah al-‘adalah”. Keadilan dituntut dalam segala sendi kehidupan. Asas “Certainty”, yaitu pajak yang harus dibayarkan hendaknya merupakan sesuatu yang pasti dan tidak mengenal kompromi.
Islam mengenalnya dengan “al-Yaqini”, hal ini lebih jelas di dalam zakat karena Rasulullah SAW telah menegaskan dengan sangat jelas batas-batas objek zakat, nishab, tarif wajib dan masa penyerahannya. Asas “Convenience of Payment”, yaitu setiap pajak hendaknya dipungut pada saat dan keadaan yang paling baik yaitu di saat dan pada keadaan yang paling baik, yaitu di saat wajib pajak yang bersangkutan mampu membayar atas saat diterimanya penghasilan. Asas ini di dalam syariat Islam dikenal dengan “Qa’idah al-Mu’amalah” sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al-An’am (6): 141 yang artinya : Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (Q.S. Al-An’am (6): 141)
Asas “Economy of Collection”, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin agar biaya pemungutan tidak lebih besar dari penerimaan pajaknya sendiri. Pemungutan pajak harus dengan biaya yang serendah-rendahnya. Islam memiliki kaidah yang setara dengan asas tersebut yaitu “Qa’idah al-Iqtishod”. Di dalam sistem perpajakan, akidah ini sangat diperhatikan. Tidak ekonomis berarti boros. Orang yang berbuat boros adalah mubadzir, sedangkan orang yang mubadziri adalah kawan syaitan dan kaum syaitan sangat ingkar kepada Allah SWT. Secara umum, Islam memerintahkan untuk berbuat ekonomis, melarang untuk hidup berlebih-lebihan (boros) karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
Setelah mengkaji beberapa perbedaan antara zakat dan pajak maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak. Walaupun, sasaran zakat hampir dapat tercapai sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak. Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan Khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme unik yang islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan seorang Muslim sebagai zakat hartanya. Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi.
Harta yang dimiliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah lah yang kemudian melimpahkan zakat, selain diwajibkan atas harta yang dapat terlihat, dan bisa diketahui serta dihitung oleh selain pemilik harta, juga wajib ditunaikan atas harta tersembunyi. Artinya yang tak dapat diketahui dan terhitung, kecuali pemiliknya. Karena itu mungkin saja bagi orang-orang yang lemah imannya akan menyembunyikan atau menutupi sebagian harta yang mereka miliki, hingga tidak terhitung zakatnya. Namun, bagi seorang muslim yang bertakwa, yang keimanannya mengakar dalam jiwa, akan menyadari betapa Allah SWT, Yang Maha Mengetahui penghkhianatan mata dan Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, akan tetap berlaku benar.

BAB IV
PENUTUP
A.      Simpulan
Mengenai Kedudukan Pajak dalam islam, sampai saat ini masih banyak yang berbeda tanggapan di indonesia, tidak terkecuali dari kalangan ulama bahwa pajak dalam islam itu haram hukumnya, dan ada juga yang mengatakan bahwa pajak dalam islam itu halal atau sah-sah saja asalkan tujuan dan fungsi dari pajak itu benar-benar difungsikan untuk hal yang baik dan menguntungkan semua orang dengan tidak ada paksaan atau perampasan secara paksa. Didalam Islam, Pajak dan zakat hampir sama tujuannya yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui dana yang dikutip dari masyarakat, namun keduanya tentu memiliki perbedaan. Sedangkan pajak dalam non islam atau kapitalis dipungut dari warga untuk membangun negara dan juga warga itu sendiri.
Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur Negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara, sedangkan zakat lahir dari konsep Islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi permasalahan ketika dalam hal tertentu terdapat persamaan, yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh masyarakat.

B.       Saran
Pajak dan zakat hampir sama tujuannya yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui dana yang diambil dari masyarakat. Seharusnya untuk pajak itu benar-benar diterapkan demi kepentingan masyarakat, pembangunan negara kearah yang lebih baik, bukan untuk kepentingan pribadi. Dan untuk Zakat, seharusnya diberikan kepada orang – orang yang berhak menerima zakat atau orang – orang yang kurang mampu (mustahiq).